WhatsApp Facebook Google+ Twitter BBM

Marak, Kasus KS di Kepolisian NTT

Metronttdewa.com 24-09-2025 || 10:41:07

Direktris PIAR NTT, Sarah Lerry Mboeik dan Ketua LPA NTT, Veronika Ata

Metronewsntt.com--KASUS pencabulan terhadap anak yang dilakukan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, di Nusa Tenggara Timur,  pada Maret  2025 lalu mengegerkan masyarakat. 

Mantan Kapolres ini menjadi tersangka kasus kekerasan seksual  (KS) dan eksploitasi yang melibatkan tiga anak di bawah umur. Dalam aksinya,Fajar merekam dan mengunggah perbuatan tidak senonoh  itu ke platform daring yang kemudian teridentifikasi oleh otoritas di Australia.

Namun kasus KS yang dilakukan polisi  di NTT ternyata bukan hanya dilakukan Fajar. Ada informasi lain bahwa masih ada sejumlah kasus KS lain yang melibatkan anggota polisi dari tingkat bawah hingga perwira. 

Direktris Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat  (PIAR) NTT, Sarah Lerry Mboeik menyebut kasus KS yang melibatkan pihak kepolisian sebenarnya tidak hanya terjadi di Polda NTT melainkan di Polda lain.

Yang membedakan, jumlah kasus di Polda NTT cukup tinggi. Pelakunya bukan hanya anggota berpangkat rendah melainkan juga perwira menengah dengan korban anak di bawah umur. 

Sarah Lerry Mboeik yang konsen memperjuangkan kelompok marginal di NTT  misalnya menunjukkan kasus eksploitasi perempuan melalui video call sex/porno aksi oleh oknum perwira (Pamen) di Polda NTT berinisil Kompol YYK. 

Ada juga kasus pemerkosaan di Sumba Barat Daya yang kemudian korbannya melapor ke Polsek Wewewa Selatan, namun bukannya mendapat perlindungan, korban itu juga mengalami pelecehan oleh oknum polisi berinisial PS.

”Penyidik Airda PS secara paksa menyentuh bagian vital korbanIni Kasus Kekersan Seksual di Kabupaten Sumba Barat Daya Begitu pula yang terjadi di  Kabupaten Sikka, Aipda II, anggota Polres Sikka pun melakukan Kekerasan Seksual pada dua remaja usia 15 tahun sampai  salah satu korban bunuh diri,” beber Lerry demikian akrab disapa kepada jurnalis, Rabu (3/9/2025)..

”Pertanyaan yang mengganggu akal sehat adalah bagaimana mungkin aparat penegak hukum, yang seharusnya membongkar kasus-kasus kejahatan ”pornografi daring” pada anak-anak, justru menjadi pelaku kejahatan tersebut, bahkan memproduksi konten-konten pornografi,” sesal Lerry Mboeik.

Lerry Mboeik menilai, seperti biasa institusi Polri selalu memakai istilah “oknum” jika anggotanya terlibat kasus-kasus pidana atau pelanggaran HAM. Hal ini menjadi strategi untuk menghindari tanggung jawab institusi atas segala tindakan yang dilakukan anggotanya.

“Padahal banyak kasus KS itu terjadi dalam hubungan relasi kekuasaan, baik kasus mantan Kapolres Ngada, kasus KS di Sikka, kasus KS di Kanis TPPO yang dilakukan AKP YYK, maupun kasus KS di SBD dan semuanya dilakukan oleh orang harusnya menjadi pelindung dan teladan,” kata Lerry.

Menurut Lerry, ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah salah satu faktor. Ada juga pengaruh dari  kontribusi  berbagai industri hiburan dan media yang  sering menampilkan narasi vulgar hingga membuat banyak orang kehilangan sensitivitas terhadap nilai-nilai etika, ataupun hal-hal yang sakral seputar seksualitas. Faktor lainnya juga adalah ada  peluang dan lemahnya pengawasan ditingkat Institusi.

’Saya melihat sepertinya fungsi pengawasan tidak berjalan soal kinerja, integritas para perwira sehingga walaupun ada masalah tapi promosi mereka terus melaju karena tanda kutip seolah olah tak terdeteksi oleh institusi Polisi bagaimana track record dan integritas mereka, sehingga dia bisa lolos menjadi Kapolres Ngada,” kata Lerry. 

Begitu pula dengan Kanit TPPO Ditreskrimum Polda NTT, AKP YYK. PIAR NTT punya catatan terhadap track record YYK waktu menangani kasus TPPO sehingga berkesimpulan  waktu itu bahwa polisi adalah bagian dari masalah tingginya Kasus TPPO.

”PIAR punya banyak catatan tentang penanganan kasus TPPO dan para pemainnya bahkan waktu itu saya sampai melaporkan Direskrimnya ke Kapolri.Tapi itu tidak menjadi indikator yang dipakai dalam promosi jabatan,” kata Lerry lagi.

Ia menyebut masih banyak contoh lain yang bisa digali lebih jauh.  Ada pengalaman PIAR dalam mendampingi korban kasus kekerasan berbasis gender (penelantaran) yang pelakunya adalah anggota polisi Polda NTT. Menurut laporan PIAR NTT bahwa akar masalah diduga per-selingkuhan sehingga lari meninggalkan tugas selama 9 bulan berujung Pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH ).

Anehnya, sudah dipecat dengan tidak hormat, ternyata bisa dipromosi menjadi Kapolsek Amarasi di Polres Kupang. 

Sebelumnya, Flory Orpa Tineke Bartels, istri AKP Laurensius Daton Sabon pada Rabu (24/2/2025)  mengakui menghadiri sidang etik terhadap suaminya (istri AKP Laurensius Daton Sabon) di Polda NTT pada 16 Januari 2014 terkait kasusperselingkuhan, kasus penelantaran anak dan istri, kasus kekerasan terhadap istri serta meninggalkan tugas selama enam (6) bulan tanpa kabar. 

AKP Laurensius Daton Sabon kabur ke Batam bersama wanita idaman lain (WIL) yang juga selingkuhannya Mariana Lobo Nona. ”saat itu, saya dengar langsung, suami saya )Laurensius Daton Sabon) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai anggota Polri,” kata Flory Orpa Tineke Bartels.

Sementara hasil penelusuran Tim Media ini menemukan bahwa Polres Lembata pernah mengeluarkan Daftar Pencarian Orang (DPO) terhadap Laurensius Daton Sabon masih berpangkat Inspektur Dua (Ipda) sesuai surat nomor: DPO/03/XII/2011/Reskrim tertanggal 9 Desember 2011 ditandatangani Kasat Reskrim Polres Lembata selaku penyidik Iptu Nidemus Ndoloe. 

Dalam surat ini pula disebutkan bahwa Laurensius Daton Sabon ditetapkan sebagai DPO terkait laporan polisi nomor: LP 090/XI/SPKT Polres Lembata tertanggal  24 November 2011.

”Ini kan bukan masalah perbuatan oknum, tapi masalah sistem pengawasan yang sangat buruk, atau memang ada mafioso dalam institusi Polri di mana yang baik di jauhkan dan yang punya track record buruk dipromosi,” ujarnya.

PIAR merekomendasi evaluasi menyeluruh terhadap Polri khususnya Polda NTT terkait rentetan kasus kekerasan seksual ini. Kasus-kasus tersebut harus diusut tuntas secara transparan dan pelakunya diberikan sanksi pidana bukan sekedar etik agar dapat menghadirkan keadilan bagi korban dan keluarga korban. 

”Reformasi institusional atas Polri yang lebih mendalam harus segera dilakukan guna mencegah berulangnya kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya oleh anggota kepolisian di masa datang karena  saat etika tak lagi dijunjung tinggi dan ditinggalkan serta pengawasan melemah  dan longgar maka degradasi moral akan memberi ruang bagi pelaku yang memiliki relasi kuasa yang dominan,” tegasnya. 

Salah satu celah inilah dimanfaatkan oleh para pelaku untuk mencari kepuasan pribadi, bahkan lewat cara yang melanggar hukum sekalipun. Reformasi kultural di tubuh polisi belum berjalan sesuai yang publik harapkan 

Secara terbuka Lerry Mboeik mengkritik peran Itwasda Polda yang tak berfungsi sebagaimana diharapkan, terbukti dengan banyaknya kasus kekerasan berbasis gender di wilayah Polda NTT tak berjalan  karena pelakunya internal institusi Polda, maupun eksternal. 

Istilah no viral no justice kata dia, menjadi bentuk protes masyarakat dikarenakan kasus-kasus seperti ini terlalu lambat. Malahan berkas perkaranya bolak balik sampai 5- 8 kali hingga menyebabkan seringkali korban pasrah dan malas melanjutkan kasus-nya karena ereka lebih dekat dengan pelaku yang adalah dari institusi mereka sendiri. 

Bila perwira Polri yang terlibat dalam kejahatan serius baik KS, TPPO, kasus narkoba ini, menunjukkan adanya masalah mendasar dalam pembentukan etika dan moralitas di kalangan aparat penegak hukum. Sebab  bicara penegakan hukum  tidak hanya patuh pada aturan, tetapi juga nilai-nilai moral. Kasus perwira sebenaranya memberi kesimpulan bagi kita bahwa seorang perwira tidak menjamin bahwa moral mereka baik.

“Untuk itu pendidikan etika, moral harus  terus dilakukan dan pembinaan yang terus menerus serta pengawasan yang diperketat. Buang itu saling backup yang katanya saling melindungi yang akhirnya merusak institusi/lembaga. Selain itu reward maupun punishment tidak boleh subyektif Kapolri semata tanpa melihat track record dan kinerja,” imbuhnya.

Kasus-kasus ini harus diusut sampai tuntas tidak hanya dalam sidang etik, agar kepastian  proses hukum berjalan adil dan transparan serta kasus-kasus mantan Kapolres fajar dan kasus-kasus KS lainnya harusnya jadi momentum bagi reformasi kepolisian. ”Kami berharap kasus serupa tidak lagi terjadi  di masa yang akan datang agar kepercayaan publik dimana polisi sebagai garda depan pelindung dan penegakan hukum yang adil boleh terbangun dimasyarakat,” imbuhnya.

Ia menyoroti faktor relasi kuasa menjadi salah satu penyebab pelaku apalagi jika pelaku perwira seolah 'terlindungi' dari hukuman atas perbuatannya, untuk itu perlu di treatmen secara khusus. Dalam kasus-kasus KS ini kita perlu memastikan korban dilindungi untuk mendapatkan rasa aman baik phiskis maupun fisik, masyakat sipil/publik perlu mengawal secara serius karena publik lengah kasus hilang

Data  PIAR NTT menyebutkan selama Januari-Agustus 2025 menemukan tujuh (7) kasus KS di Polda NTT melibatkan oknum anggota Polri baik berpangkat perwira  dan bintara. Kasus-kasus KS antara lain:

1, Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman yakni diduga melakukan kejahatan  seksual terhadap tiga anak  dan 1 orang dewasa. Pada tahun 2024 – Januari 2025).

2. Anggota Satlantas Polresta Kupang Kota, Briptu Muhammad Rizky diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang siswi  SMA. (Mei 2025).

3. Anggota Polres Sikka, Aipda Ihwanudin  Ibrahim diduga melakukan kekerasan  seksual terhadap anak. (Maret 2025)

4. Anggota Polsek Wewewa Selatan Polres Sumba Barat Daya, Aipda Paulus Salo diduga melakukan pelecehan sesksual kepada korban pemerkosaan (Maret 2025)

5. Anggota Ditsamapta olda NTT, Brigda Donald Acoustic Agoha Dappa melakukan kekerasan seksual, fisik dan psikis terhadap pacarnya seorang mahasiswi. (Kekerasan dalam Pacaran). (Juni 2025)

6. Kanit  TPPO Dtreskrimum Polda NTT, AKP Yance Yauri Kadiaman diduga melakukan video call sex dengan JVC (Juli 2025)

7. Sekretaris Pribadi Wakapolda NTT, Kompol Boyke Alexander Rawung terciduk di dalam kamar bersama seorang Polisi Wanita, Brigpol I, di salah satu kamar hotel di Kabupaten Sumba Tengah. 

Dari ketujuh kasus KS ini, Lerry Mboeik mengungkapkan hanya satu kasus KS yang sampai ke pengadilan yaitu kasus KS yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman. Sedangkan enam kasus KS lainnya disidang etik di mana hanya dua anggota yang dipecat sedangkan empat lainnya tidak. 

* Pengawasan Internal Polri Gagal

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT, Veronika Ata mengatakan bahwa polisi yang seharusnya menjadi pengayom namun sebaliknya justru menjadi pelaku kejahatan seksual. 

”Ini sangat memprihatinkan karena kebanyakan  anak -anak menjadi korban. Anak yang semestinya menjadi generasi penerus dan harapan bangsa, namun dirusak masa depannya,” katanya.

TPKS yang melibatkan anggota polisi jelas Tory Ata, demikian disapa-- mencerminkan  kegagalan   dalam mekanisme rekrutmen, pengawasan internal dan jenjang kepangkatan. Karena itu dia mempertanyakan  sejauhmana mekanisme dan persyaratan menjadi seorang anggota Polri yang berpredikat pengayom rakyat. Kita tidak bisa tolerir terhadap pelaku  karena status atau seragamnya.” kata Tory Ata.

Menurut dia, mestinya  ada pemberatan hukuman sebagaimana yang diamanatkan oleh UU 35/ 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. 

Hukuman pidana bisa ditambahi 1/3 dari total hukuman apabila pelakunya adalah orang tua, tenaga pendidik, orang yang harusnya memberikan perlindungan, termasuk aparat penegak hukum .

Kapolda NTT  Irjen Pol Rudi Darmoko diharapkan secara serius menindak tegas setiap pelaku TPKS, tidak ada impunitas terhadap pelaku yang notabene oknum Polisi. Selain itu  polisi didesak melakukan  reformasi menyeluruh mulai dari sistem rekrutmen, pendidikan gender, perlindungan anak dan HAM dan  pengawasan oleh pimpinan, membangun budaya anti-kekerasan serta melakukan psiko tes secara berkala dan berjenjang.

"Kami menolak dengan tegas ketika korbannya adalah perempuan dewasa lalu dikatakan suka sama suka sehingga tidak diproses. Apabila sudah ada bukti permulaan yang cukup misalnya saksi korban ditambah salah satu alat bukti lain, wajib diproses hukum hingga putusan pengadilan," sambung Tory Ata serta mengajak semua pihak untuk melindungi anak- anak di NTT.

Menyikapi banyaknya kasus KS yang terjadi ke unsur kepolisian, LPA NTT telah berkolaborasi dengan jejaring LSM-  SAKSIMINOR untuk memberikan pendampingan hukum, psikologis kepada korban serta rumah aman. 

Tim Kuasa Hukum  terdiri dari: unsur-unsur LPA NTT, LBH APIK NTT, Rumah Harapan GMIT dan Rumah Perempuan. Mereka juga berkoordinasi dengan kepolisian, Kejaksaan Tinggi, Komnas HAM, LPSK untuk memastikan proses hukum secara transparan serta menerapkan pasal-pasal yang relevan dengan perbuatan pelaku," katanya.

LPA NTT juga menyampaikan masukan tertulis kepada penyidik dan Kejaksaan agar pasal yang digunakan sesuai UU 12/2022 tentang TPKS, UU Perlindungan Anak, dengan pemberatan hukuman.

“ Karena pelaku adalah aparat penegak hukum. Kami juga mengusulkan UU TPPO namun hingga saat ini belum diterapkan kepada pelaku utama yakni mantan Kapolres Ngada,” kata Tory Ata lagi.

Dia  menambahkan bahwa dia menulis opini di berbagai Media dengan judul : Surat Terbuka kepada Kapolda NTT.  LPA NTT juga sudah berkolaborasi dengan Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT  melakukan RDP dengan Komisi III dan Komisi XIII DPR RI.

" Kami juga melakukan kampanye dan sosialisasi  melalui Radio dan media mainstream maupun media sosial,  tentang Pencegahanan dan penangan Kekerasan seksuaksual terhadap anak dan perempuan," ujarnya

 Tory Ata mengecam, keterlibatan perwira polisi dalam kasus KS. “Perbuatan oknum perwira ini bukan saja mencoreng institusi kepolisian namun telah mencederai kepercayaan publik di NTT,” katanya sambil menambahkan bahwa tidak ada orang yang kebal hukum karena secara konstitusi, semua orang sama di depan hukum.

* Polda NTT Berikan Sanksi Tegas 

Kapolda NTT Irjen Pol. Rudi Darmoko mengaku memberikan sanksi tegas kepada semua anggotanya. Termasuk melakukan pengawasan terhadap kinerjanya anggotanya dalam melaksanakan tugas. ”Kita akan berikan sanksi tegas bahkan kita pecat jika terbukti melakukan pelanggaran berat,” tegas Rudi Darmoko.

Dalam beberapa kasus jelas Rudi, pihaknya sudah melakukan pemecatan termasuk mencopot anggota dari jabatannya setelah terbukti melakukan  pelanggaran etik dan disiplin. Sedangkan untuk kasus pidananya diproses secara hukum.

Rudi Darmoko  juga amelakukan teroboson dengan mendatangkan ahli mode terapi agar bisa selalu sehat baik fisik maupun mental.  

Gebrakan itu dibuatnya karena semua masyarakat khususnya sebagai anggota Polri pastinya punya masalah dengan diri maupun keluarga, akibatnya hal itu bisa menyebabkan masalah-masalah yang tidak diinginkan bersama. 

"Saya contohkan reserse, dia di rumah punya masalah, kemudian saat berdinas datang ke kantor. Tiap detik berapa laporan Polisi yang mereka Terima. Masyarakat datang bawa masalah, sedangkan Polisi itu juga punya masalah pribadi. Jadi sebagai manusia pasti punya keterbatasan. Kalau ini kita tidak netralkan bagaimana dia bisa lakukan tugasnya dengan baik," kata Rudi Darmoko, kepada media ini, Kamis (21/8/2025).

“Dampaknya dalam pelayanan masyarakat dia bisa saja bertindak kasar. Mungkin yang paling buruk itu bisa lakukan pelecehan, kan kita tidak tau penyebabnya yang sampai sekarang ini belum ada teknik untuk membenahinya. Kita memang ada psikolog, tapi teknik yang ada belum efektif untuk membenahi," tambahnya.

Oleh sebab itu, dirinya mencari jalan keluar bekerja sama dengan Ahli Psikolog kesehatan fisik dan mental untuk bersinergi membenahi Anggota Polda NTT terkait kesehatan mentalnya. 

Rudy berkomitmen untuk membenahi dari dalam diri baru bisa diterapkan marwah Polri yang sesungguhnya di tengah-tengah masyarakat sebagi Pelindung, Pengayoman dan Pelayan Masyarakat.

"Saya berupaya untuk membenahi dari dalam diri dulu, setelah Anggota sudah baik baru pelaksanaan tugasnya bisa lebih baik lagi. Percuma saja kalau saya tidak benahi mental anggota saya, pasti marwah Polri tidak bisa berjalan baik seperti yang kita harapkan," Jelasnya. 

Ia bahkan mengatakan seluruh anggota Polda NTT akan berupaya diterapi, dan katanya pada tanggal 17 Agustus 2025 akan dibuka terapi massal lewat zoom. Semua Anggota Polda NTT yang mengalami gangguan fisik maupun mental akan didorong untuk diterapi oleh psikolog yang sudah disiapkan. 

Sementara Kabid Humas Polda NTT Kombes Pol. Henry Novika Chandra  Selasa (19/8/2025) mengaku polisi tidak boleh melakukan kekerasan seksual atau asusila.

Namun salah satu penyebab terjadinya kasus KS  tersebut karena jumlah anggota Polda NTT yang terbilang cukup banyak hingga mencapai 12.000 anggota. 

 "Kalau satu dua anggota tetap tidak kita tolerir. Tapi ini sudah banyak, sehingga menjadi refleksi kita untuk perbaikan yang lebih baik," katanya.

Menurut Henry, Polda NTT tetap menegakkan aturan ketegasan bagi setiap anggota nya yang melakukan perbuatan asusila atau kekerasan seksual, terkhusus nya terhadap remaja dan anak di bawah umur. 

"Kita sudah tegakkan aturan dan kita juga sudah lakukan upaya-upaya pencegahan dengan lakukan sosialisasi kepada anggota dan juga kita berikan sanksi berat bagi yang lakukan perbuatan asusila," jelasnya. 

Salah satu contoh ketegasan Polda NTT sebut dia, kasus Kompol Boyke Alexander Raung  yang kedapatan dalam kamar bersama seorang oknum anggota Polwan berinisial Brigpol I, di salah satu hotel di Kabupaten Sumba Tengah.

Di mana kata dia, sebelumnya sudah dikeluarkan Surat Telegram untuk menduduki Kasat Lantas Polresta Kupang Kota, namun sekarang sudah dinonaktifkan. 

Hingga saat ini belum ada data berapa kasus KS yang melibatkan anggota Polda NTT . Namun dia mengakui cukup banyak anggota Polda NTT yang terlibat dalam kasus tersebut dalam dua tahun belakangan ini.  "Ya kalau mau dilihat banyak juga," jawabnya. 

Komisioner Kompolnas, Choirul Anam melihat fenomena KS melibatkan oknum Polri sebagai pelaku mencerminkan kondisi internal kepolisian di sana.

 ”Saya kira memang harus diambil tindakan tegas. Beberapa kasus yang terjadi ternyata dibuka sendiri oleh mekanisme pengawasan internal kepolisian. Kami mengapresiasi hal tersebut. PR-nya (Pekerjaan Rumah) dalam konteks ini adalah harus ada penindakan yang tegas,” imbuhnya kepada Tim Media, Kamis (21/8/2025).

Menurut Anam, sanksi etik saja tidak cukup, tetapi harus ada sanksi lain. Mekanisme pemberian sanksi dan pengawasan ini memang harus lebih efektif dalam mencegah terjadinya Kekerasan Seksual di lingkungan Polda NTT. 

Yang tidak kalah penting adalah mekanisme pengawasan dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam konteks ini sangat penting. 

”Sebab tanpa kontrol dari masyarakat, akan sulit bagi kita semua. Nah, kerja sama antara pengawas internal, pengawas eksternal seperti Kompolnas, dan keterlibatan masyarakat diharapkan dapat memastikan kasus-kasus seperti itu tidak terjadi lagi,” imbuhnya.

Secara umum dia berpendapat proses rekruitmen dan penilaian serta penempatan anggota di tubuh Polri sudah sangat bagus. Fenomena kasus KS di tubuh Polda NTT hanyalah merupakan perbuatan oknum (pribadi) yang memang memiliki problem sosial dan problem lainnya sehingga berdampak kepada perilaku yang sangat buruk.

Karena itu, sekali lagi Choirul Aman menegaskan bahwa pengawasan internal dan eksternal harus diperketat. Jika ada pelanggaran maka harus diberikan sanksi tegas jangan sampai ditutup-tutupi guna melindungi pelaku sehingga mampu memberikan efek jera.

Choirul Anam sepakat jika pelanggaran yang dilakukan tidak semata-mata diproses secara etik namun harus diproses secara pidana pula apa bila memang ada pelanggaran pidana. Hal ini guna memberikan efek bola salju yang sangat penting dalam pengawasan guna memastikan setiap anggota tidak melakukan pelanggaran.

”Sebenar-nya, hormat menghormati terutama dalam konteks kesetaraan gender sangatlah penting sebagai suatu kesatuan kebudayaan. Tanpa ada budaya yang ramah terhadap perempuan dan tidak ada kesetaraan gender maka problem kekerasan terhadap prempuan dan berbasis gender tetap terjadi,” pungkasnya. 

 (Artikel ini merupakan hasil liputan kolaborasi sejumlah media tergabung dalam Tim Liputan Investigasi di Nusa Tenggara Timur terdiri dari KataNTT.com, Harian Umum Victory News, metronewsntt.com dan wartatimor.com).


Baca juga :

Related Post